Doha – Serangan Israel ke Doha pada 9 September 2025 menjadi peristiwa mengejutkan yang memicu kecaman global dan mengguncang dinamika geopolitik Timur Tengah. Serangan udara yang menargetkan sebuah gedung di ibu kota Qatar menewaskan lima anggota senior Hamas dan seorang petugas keamanan lokal.
Serangan Israel ke Doha bukan hanya tindakan militer biasa. Dengan menargetkan tokoh Hamas yang sedang membahas proposal perdamaian Gaza, serangan ini sarat dengan pesan strategis. Gedung yang diserang dikabarkan menjadi pusat pertemuan perwakilan Hamas dengan mediator internasional, termasuk pihak Qatar.
Sebagai tuan rumah markas politik Hamas sejak 2012 dan pusat negosiasi gencatan senjata, Doha memiliki peran kunci dalam diplomasi regional. Serangan ini dinilai sebagai upaya Israel untuk mengguncang struktur kepemimpinan Hamas sekaligus melemahkan posisi Qatar sebagai mediator utama konflik Gaza.
Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, secara terbuka mengutuk serangan tersebut sebagai pelanggaran kedaulatan dan hukum internasional. Perdana Menteri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman, menyatakan bahwa “Qatar tidak akan tunduk terhadap tekanan militer yang merusak misi perdamaian.”
Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Mesir, dan Turki juga menyatakan kecaman keras terhadap tindakan Israel. Koalisi diplomatik ini memperlihatkan bahwa serangan Israel ke Doha telah menyentuh aspek yang lebih luas — menyangkut martabat dan stabilitas kawasan, bukan hanya konflik Hamas-Israel.
Amerika Serikat, yang selama ini mendukung proses perdamaian di Gaza melalui jalur Doha, juga terkejut atas langkah Israel. Mantan Presiden Donald Trump, yang kembali berpengaruh di Washington, dilaporkan marah besar terhadap serangan ini karena dinilai merusak kalkulasi strategis AS.
Doha merupakan lokasi pangkalan militer terbesar AS di Timur Tengah. Keberadaan Hamas di Qatar selama ini justru memudahkan pemantauan intelijen, dibanding jika kelompok tersebut berpindah ke Iran negara yang dikenal sebagai sekutu utama kelompok-kelompok perlawanan anti-Israel.
Dalam menghadapi ketegangan yang meningkat, dunia internasional perlu segera bertindak. Solusi diplomatik adalah satu-satunya jalan keluar yang masuk akal untuk mencegah perang yang lebih luas.
Sebagai respons diplomatik, Qatar merencanakan KTT Darurat Arab-Islam dalam waktu dekat. Tujuannya adalah menggalang dukungan luas untuk mempertahankan posisi Doha sebagai mediator dan menjaga stabilitas kawasan. Ini menjadi langkah penting menunjukkan bahwa Qatar tidak akan menyerah di bawah tekanan militer.
Serangan Israel ke Doha telah menjadi babak baru dalam krisis Timur Tengah — bukan hanya sebagai serangan militer, tetapi sebagai simbol pergeseran kekuatan diplomatik dan psikologis.
Krisis ini menunjukkan betapa rapuhnya stabilitas kawasan ketika aktor negara melanggar batas hukum internasional demi tujuan strategis jangka pendek. Masa depan diplomasi regional kini tergantung pada kecepatan dan ketegasan komunitas internasional untuk bertindak.