Cara Aman Berinvestasi Properti Secara Hukum

Jakarta – Saat membeli properti ada beberapa hal yang harus diperhatikan, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satunya adalah membaca perjanjian secara teliti, detil dan menyeluruh, bukan hanya membaca poin-poin pentingnya saja.

Menurut Isa Meilia, SH, koMKN, seorang Notaris/PPAT kota Depok yang menjadi narasumber dalam Nina Nugroho Solution Live Instagram, Sabtu lalu, orang untuk masalah hukum, biasanya hanya membaca point pentingnya saja. Padahal ada banyak yang harus diperhatikan.

“Padahal di dalam perjanjian biasanya sangat panjang dan semua harus dibaca secara teliti. Pertama menyangkut subyek, yaitu developer, atau penjualnya ataukah si subyek adalah orang berwenang bertindak,” katanya.

Pada episode ke 78 kali ini, Nina Nugroho Solution yang merupakan program live instagran yang menjadi bagian Corporate Social Responsibility (CSR) dari brand Nina Nugroho untuk memberikan asupan informasi kepada para wanita multiperan. Dipandu oleh CEO PT. Nina Nugroho Internasional dan desainer, Nina Septiana membahas tentang investasi properti yang aman secara hukum.

Lebih lanjut Isa menjelaskan, calon pembeli harus mencari tahu apakah developer mempunyai kuasa jual. Sebab, bisa jadi sertifikat tanah milik si A, sementara developer hanya memiliki perjanjian kerja sama. Bila ini yang terjadi, maka developer tersebut tidak memiliki kewenangan sebagai penjual. Sebaliknya, bila developer bertindak sebagai penjual, bisa saja sertifikat sudah balik nama/objek diberikan kepada developer sebagai kuasa jual. Dalam hal ini pemilik tanah telah memberikan kewenangan kepada developer untuk menjual.

Sedang yang dimaksud obyek adalah tanah, baik yang sudah bersertifikat maupun yang belum bila sudah bersertifikat, maka bisa di telusuri di perangkat pertanahan, untuk dilakukan pengecekan.

“Developer yang beritikad baik, pasti sudah melakukan pengecekan ini terlebih dahulu,” ungkap Isa.

Selain tanah yang sudah dilengkapi sertifikat, ada juga tanah yang belum bersertifikat, misalnya tanah girik. Untuk tanah girik dibutuhkan proses panjang hingga bersertifikat. Dalam kondisi seperti inilah biasanya konsumen tidak tahu dan seringkali tidak diberitahu.

“Jadi konsumen harus menanyakan, apakah tanah yang digunakan untuk membangun properti tersebut sudah bersertifikat atau belum. Kalau sudah bersertifikat, apakah masih atas nama pemilik lama arau sudah balik nama developer,” tutur Isa.

Meski terkesan agak bawel sebagai pembeli, namun menurut Isa hal itu wajar dilakukan. Apalagi investasi properti menyangkut dan yang tidak sedikit, sehingga calon pembeli harus mampu memperhitungkan semua resikonya. Dikatakan, beberapa detil dalam perjanjian sebaiknya dituliskan. Seperti tenggat waktu penyerahan sertifikat. Seringkali hal ini tidak tertulis dalam perjanjian, sehingga ketika developer terlambat menyerahkan dokumen legalitas, konsumen tidak memiliki dasar hukum untuk menggugat.

Detil lain yang harus tertulis dalam perjanjian adalah serah terima obyek yang tanahnya belum atau tidak bersertifikat. Untuk tanah jenis ini maka dibutuhkan waktu panjang dalam proses penyelesaiannya, berkaitan dengan pengakuan hal dari girik yang kemudian menjadi hak guna bangunan. Tenggat waktu penyerahan dokumen kepada konsumen maupun bank pemberi kredit harus dituliskan dengan jelas. Hal ini pun menjadi hal konsumen.

Begitupun tenggat waktu serah terima fisik. Ini yang sering terjadi, dijanjikan hanya beberapa bulan, namun kenyataannya hingga bertahun-tahun fisik yang dijanjikan belum diserahkan.

“Dalam perjanjian itu konsumen berhak dibunyikan saja. Serah terima fisiknya itu kapan paling lambatnya, jadi harus ada batas waktunya. Kalau melewati batas waktu yang telah ditentukan, berarti sudah ada kecenderungan developer melakukan wanprestasi. Konsumen berhak meminta untuk dituliskan, bila melewati batas waktu yang disepakati apa yang akan terjadi, misal developer dikendakan denda,” paparnya.

Detil lain yang perlu dicantumkan dalam perjanjian adalah terkait dengan proses pembangunan. Misalnya penggunaan bahan bangunan, seperti lantai marmer, atau keramik dan sebagainya.

“Sebaiknya hal ini juga dituliskan dalam perjanjian atau pengikatan jual beli, “kata Isa.

Dalam membaca perjanjian, lanjut Isa, bila pembeli tidak begitu memahami khusul hukum, maka dianjurkan untuk menyertakan pihak ketiga yang memahami masalah ini.

“Boleh teman, saudara, notaris, pengacara, siapa saja yang sekiranya paham dengan maslah ini. Silakan boleh di sertakan untuk memastikan,” tutur Isa.

Saat membeli properti, pastikan fisik lahan sudah dalam penguasaan developer dengan salah satu tanda, dipasangnya umbul-umbul di lokasi tersebut. Kalau belum ada kegiatan seperti itu pematangan lahan, dan umbul-umbul bisa jadi tanah tersebut sedang digadaikan.

“Saya tegaskan, ada dua hal yang harus diperhatikan adalah dari aspek yuridis dan aspek penguasaan fisik. Keduanya harus berimbang,” mengakhiri.

Komentar pembaca