Diskusi Pra festival JILF Fiksi dalam Fakta

Lensautama.com – Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mengadakan diskusi pra-festival yang ke-lima. Diskusi pra- festival kali ini mengangkat tema “Fiksi dalam Fakta” yang diadakan di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki. Diskusi ini menghadirkan dua pembicara, yaitu : Andina Dwifatma (Dosen dan Editor), Roy Thaniago (Pendiri Remotivi), , Moderator, Linda Christanty (Anggota Komite Sastra DKJ).

Diskusi “Fiksi dalam Fakta” hadir untuk membicarakan mengenai penyebaran hoaks yang terorganisir dan batasan-batasan antara fiksi dan fakta di era paskakebenaran ini. Roy Thaniago mengemukakan tentang hoaks, media dan kekuasaan. Di satu sisi, hoaks memiliki dampak negatif dan merugikan, tapi di lain pihak dapat juga dilihat sebagai salah satu bentuk resistensi terhadap wacana arus utama.

Istilah ‘pasca-kebenaran’ (post-truth) yang selama ini populer dan dipopulerkan sebenarnya tidak mewakili apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Orang-orang ternyata ingin mengetahui kebenaran, tapi mereka tidak memperoleh sumber yang dipercaya.

Jurnalisme Layani Kepentingan Elite

Ketika jurnalisme lebih melayani kepentingan elite, masyarakat akan mencari kebenaran dengan cara mereka sendiri, termasuk melalui media sosial dan sumber-sumber lain.

Sirkulasi informasi atau berita yang belum tentu benar pun tak dapat dihindari. Terjadi krisis kepercayaan publik terhadap pers atau media sekarang ini, yang mungkin lebih tepat digambarkan sebagai situasi ‘pasca-jurnalisme’. Media diharapkan mampu meraih kembali kepercayaan publik.

“Hoaks itu berfungsi untuk memanipulasi kesadaran kita mirip seperti placebo, sehingga pada akhirnya kita percaya bahwa itu benar,” ungkap Roy. “Dahulu pemerintah dan jurnalisme adalah gate keeper kebenaran. Sekarang, masyarakat bisa berperan sebagai gate-keeper juga, hal ini sejalan dengan perkembangan teknologi. Maka muncullah istilah jurnalisme warga. Hal ini terjadi karena kita memasuki era post-journalism. Di mana terjadi pergeseran otoritas dalam memberikan fakta atau hoaks ke publik,” lanjut Roy Thaniago.

Berita hoaks berbeda dengan fiksi atau cerita rekaan dalam karya sastra. Fiksi adalah dunia rekaan namun di dalamnya terdapat kebenaran yang dapat membawa pembaca merefleksikan kehidupan. Sementara, berita Hoaks yang adalah rekaan, dipercayai sebagai kebenaran oleh sejumlah pembaca, yang lebih banyak dari pembaca fiksi.

“Batasan antara fakta dengan fiksi jelas dan kita tidak perlu bingung atas batasan-batasan itu. Batasan fakta adalah kenyataan yang bisa dideskripsikan 5W1H. Nah, kalau batas fiksi ada di imajinasi pembaca dan penulisnya,” ujar Andina Dwifatma.

Andina Dwifatma membahas tentang fakta dan karya sastra dengan mengisahkan bagaimana sebuah berita bohong tentang seseorang yang mengeliling dunia selama 3 hari dengan sebuah balon udara yang telah menginspirasi sastrawan Amerika akhir abad ke-19, Edgar Allan Poe untuk menulis cerita, The Balloon Hoax, dan lalu menginspirasi sastrawan Perancis, Jules Verne, untuk menulis novel Eighty Days Around the World.

Dalam penulisan fiksi, fakta dan imajinasi sah untuk berbaur dan fakta dapat diseleksi demi mencapai efek tertentu. Kebalikannya, dalam jurnalisme, fakta adalah suci dan tak boleh ada setitik fiksi pun di dalamnya. Fiksi juga bertujuan membangkitkan empati, bukan sikap kritis.

“Fiksi tidak bisa dan tidak perlu melawan hoaks. Karena tugas fiksi adalah menumbuhkan empati, bukan mendorong orang untuk berpikir kritis,” lanjut Andina.

Komentar pembaca