Cyber Warfare, Perubahan Tendensi Perang Masa Depan yang Mengerikan

LensaUtama.com – Ketahanan nasional yang merupakan kewaspadaan terhadap ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik dari dalam maupun luar harus dapat dicermati oleh setiap elemen bangsa dalam berbagai wujud.

Tidak selalu gangguan yang datang berwujud nyata, faktanya banyak pula yang datang menyerang tanpa bentuk dan bahkan sangat halus. Saat zaman modern sekarang ini teknologi mengambil peran sangat vital, segalanya bisa dilakukan tanpa harus membuang banyak energy.

Jika pada saat perang dunia kedua dipertontonkan kekuatan dahsyat dari persenjataan yang canggih serta kemenangan dapat terlihat dari masifnya kehancuran wilayah musuh, kini hal tersebut tidak akan terjadi. Bahkan suatu negara tidak sadar bahwa sedang diperangi.

Itulah perang asimetrik, suatu kondisi perang dimana ada satu atau lebih peserta perang yang memanfaatkan kemampuan dan kekuatan irregular yang tidak tergantung pada besaran pasukan, karena sangat memungkinkan perang ini dilakukan oleh satu orang saja dari suatu tempat yang jauh dari wilayah sengketanya.

Dr. Ir. Yono Reksoprodjo, DIC, Dosen Perang Asimetrik Universitas Pertahanan Indonesia, mengatakan, bangsa Indonesia harus mulai menyadari bahaya yang mengancam dari perang asimetrik sangatlah besar.

“Tendensi perang masa depan telah berubah, perang tersebut memiliki proses yang singkat dan memungkinkan terselubung. Menyebabkan kelumpuhan yang mematikan dan membunuh orang secara spesifik serta tidak membuat kerusakan. Itulah sebabnya kewaspadaan harus ditingkatkan,” ujar Yono dalam Diskusi Panel Serial (DPS) ke-16 yang diselenggarakan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YNSB), FKPPI, dan Aliansi Kebangsaan di Jakarta, Sabtu (6/10/2018).

Perang asimetrik tidak membutuhkan senjata militer besar yang banyak, tetapi bisa menggunakan berbagai alat untuk dijadikan senjata, salah satunya adalah informasi. Ketergantungan terhadap komputer dan internet merupakan wujud dari perang asimetrik.

“Kita tidak sadar dengan memiliki ponsel berteknologi canggih, jam tangan yang dapat memberikan informasi setiap langkah kita padahal semuanya itu adalah senjata untuk mendapatkan informasi tentang kehidupan kita,” terang Yono.

Secara garis besar, lanjutnya, perang informasi tersebut dilakukan melalui tiga cara. Penipuan, pengalihan dan pembelahan. Dan sasaran utama cyber attacks tersebut ternyata bukan di sektor pertahanan dan keamanan. Serangan cyber lebih ditujukan kepada Business Sector (204:89.5%). Diplomatic Sector (7:3.1%). Governmental Sector (3:1.3%). Defense & Security Sector (2:0.8%). Other (12:5.3%).

“Dalam menghadapi perang informasi, yang perlu dilakukan adalah sinergitas antar instansi. Selain itu juga perlu adanya upaya untuk membangun Manajemen Persepsi guna meminimalisir hal tersebut,” kata Yono.

Sementara, Ponto Sutowo selaku Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB mengatakan, kemandirian penguasaan teknologi cyber diperlukan untuk memperbaiki doktrin keamanan nasional.

“Indonesia kini sangat urgen memerlukan kemandirian teknologi Cyber. Kemandirian ini dapat terbentuk jika Indonesia mampu melakukan perbaikan doktrin ‘Keamanan Nasional’ yang sudah ada dan menata kelembagaan dengan kerangka regulasi yang jelas,” kata Pontjo.

Komentar pembaca