Jakarta – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mengumumkan rencana kebijakan baru yang cukup mengejutkan dunia pendidikan di Indonesia. Ia berencana mengembalikan sistem penjurusan di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), yang sebelumnya dihapus pada era Menteri Pendidikan Nadiem Makarim melalui Kurikulum Merdeka.
Dalam diskusi dengan awak media di kantor Kementerian, Menteri Pendidikan Abdul Mu’ti mengungkapkan bahwa keputusan ini diambil berdasarkan pentingnya kesinambungan antara jenjang pendidikan dan masa depan peserta didik. Ia menyebut bahwa sistem penjurusan akan kembali diberlakukan melalui regulasi baru yang menggugurkan Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024.
“Ini bocoran, jurusan akan kami hidupkan lagi. Nanti akan ada jurusan IPA, IPS, dan Bahasa” ujar Abdul Mu’ti.
Menurutnya, sistem penjurusan bisa membantu siswa lebih fokus dalam mendalami bidang keilmuan sesuai minat dan bakatnya, serta mempermudah transisi ke jenjang pendidikan tinggi.
Namun, rencana Menteri Pendidikan tersebut mendapat beragam tanggapan. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menilai bahwa pengembalian jurusan memiliki kelebihan dan kekurangan. Ia menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Kurikulum Merdeka yang sudah diterapkan lebih dari 95 persen sekolah di Indonesia hingga tahun 2024.
Senada, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, meminta agar rencana tersebut dikaji ulang sebelum dijadikan kebijakan resmi. Ia mengingatkan bahwa perubahan kurikulum akan berdampak besar pada sistem pendidikan nasional.
“Kalau tiba-tiba diberlakukan di tahun ajaran baru, tentu perlu penyesuaian dari sisi administratif, infrastruktur sekolah, dan kesiapan guru,” tegasnya.
Permasalahan utama yang dikhawatirkan adalah belum meratanya ketersediaan guru mata pelajaran khusus, seperti guru IPA, IPS, dan Bahasa, di seluruh daerah. Jika sistem penjurusan kembali diterapkan, maka distribusi guru yang merata menjadi tantangan serius.
Selain itu, sekolah juga harus menyesuaikan struktur kurikulum dan sarana pembelajaran. Menurut Lalu Hadrian, sosialisasi dan penataan yang matang harus dilakukan bila sistem ini tetap akan dijalankan.
Dalam kesempatan yang sama, Lalu menegaskan pentingnya membuat kebijakan berbasis data. Ia berharap kebijakan tidak berubah-ubah setiap berganti menteri.
“Kita butuh peta jalan pendidikan yang konsisten. Jangan sampai lima tahun ganti menteri, lima tahun pula ganti kurikulum. Ini bisa membingungkan guru dan sekolah,” ujarnya.
Meskipun wacana Menteri Pendidikan Abdul Mu’ti untuk menghidupkan kembali sistem penjurusan menuai pro dan kontra, keputusan akhir masih menunggu peraturan resmi. Jika tetap dijalankan, pemerintah diharapkan melakukan kajian komprehensif dan sosialisasi luas demi kelancaran implementasi di lapangan.