• 19 April 2024 10:51

LensaUtama

Jendela Cakrawala Indonesia

Pro Kontra Merokok dan Mendengarkan Musik Saat Berkendara

Lensautama.com – Pro kontra muncul di masyarakat pasca pernyataan pihak kepolisian yang mengatakan bahwa aktifitas merokok yang dilakukan ketika berkendara dapat dikenai sanksi hukum.

Sebelumnya, Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto mengatakan, kebiasaan merokok merupakan bentuk pelanggaran aturan yang ancaman hukumannya tak main-main.

“Merokok, mendengarkan radio atau musik atau televisi (untuk pengguna roda empat) melanggar UU Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 106 Ayat 1 junto Pasal 283 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” ujar Budiyanto dikutip Kompas.com.

Tak hanya itu, mengoperasikan ponsel dan terpengaruh minuman beralkohol saat berkendara pun termasuk pelanggaran UU tentang lalu lintas.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 106 Ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.

Sementara itu, dalam Pasal 283 disebutkan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 750.000.

Pernyataan Budiyanto itu memicu kontra dari kalangan praktisi hukum, David Tobing. Menurutnya, UU No.22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU Lalu Lintas) dengan jelas menyatakan, dalam Pasal 106 ayat (1), “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.”

Ada pun Penjelasan Pasal 106 ayat (1) menyatakan, “Yang dimaksud dengan “penuh konsentrasi” adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan.”

Atas dasar itu, kata David, dengan mengacu Pasal 106 ayat (1) maupun penjelasannya, mendengarkan musik tidak termasuk dalam kategori perbuatan yang dilarang dalam UU lalu lintas karena tidak ada satupun kata/frasa dalam pasal tersebut yang secara tegas melarang seseorang untuk mendengarkan musik ketika berkendaraan.

Menurut David, dalam pasal tersebut yang jelas jelas dilarang adalah menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan. David  menyayangkan pernyataan  Kasubdit Gakkum itu yang mendasari larangan mendengarkan musik hanya berdasar survei.

“Survei seperti itu tidak bisa dijadikan untuk mengambil kesimpulan sementara tidak dijelaskan bagaimana bentuk surveinya,” katanya yang dikutip Tempo.co.

Menurut dia, jika akan dibuat sebuah larangan, semestinya itu dikeluarkan melalui proses pembuatan aturan yang berlaku. Selama ini, kata David, juga tidak ada penelitian ilmiah yang menjustifikasi mendengarkan musik secara normal mengakibatkan pengemudi kehilangan konsentrasi.

Tanggapan RSA Indonesia

Menanggapi pro kontra tersebut, sebuah lembaga swadaya masyarakat pemerhati keselamatan jalan, Road Safety Association (RSA) Indonesia pun angkat suara. Menurut mereka, segala aktifitas yang dilakukan tidak terkait langsung dengan kegiatan berkendara atau mengemudi, sangat berpotensi mengganggu bahkan mengurangi konsentrasi pengemudi saat berkendara.

“Segala hal diluar aktivitas berkendara berpotensi memecah konsentrasi berkendara, termasuk berponsel, makan dan minum saat berkendara, mendengarkan musik dan merokok pun berpotensi mengurangi konsentrasi berkendara,” tegas Ketua Umum RSA Indonesia, Ivan Virnanda.

Segala sesuatu yang berpotensi mengganggu konsentrasi berkendara itu, yang Ivan sebut sebagai kejadian “distracted driving”.

“Distracted driving terjadi karena konsentrasi pengendara terpecah akibat melakukan aktivitas lain selain berkendara,” tukas Ivan.

Selain itu, Ivan juga menekankan, dalam memahami aturan yang berlaku, tidak bisa dipahami secara parsial, RSA Indonesia, kata Ivan, sejak awal kerap menyosialisasikan apa yang mereka sebut sebagai “Segitiga RSA”.

“Pahami Rules (aturan), miliki Skills (keterampilan mengemudi) dan terpenting Attitude (etika atau perilaku). Nah kira-kira kalau kita berponsel, merokok, atau beraktifitas yang lain di luar berkendara, selain berisiko ngundang bahaya juga bagaimana soal etika?,” sergah Ivan.

Dirinya mengaku, kerap menerima keluhan dari sejumlah pengendara khususnya pengendara roda dua yang terdampak oleh kegiatan merokok yang dilakukan pengendara lainnya saat di jalan.

“Abu rokok yang tertiup angin sering menerpa wajah pengendara lainnya, bahkan gak Cuma abu tapi bara api rokok yang masih menyala sangat berbahaya bagi pengendara lain,” jelasnya.

Untuk itu, Ivan kembali mengingatkan soal etika berkendara. Ditegaskannya, di jalan raya, kita tidak sendiri, ada banyak pengguna jalan lainnya yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.

“Saling menghargai lah, hormati. Kalo mau enak sendiri, ngerokok kan (kata perokok) bisa bikin nyaman, tapi ingat, kalo dilakukan saat berkendara, bisa berimbas bahaya baik bagi dirinya atau orang lain,” tutur Ivan.

Senada  dengan Ivan, Badan Kehormatan RSA Indonesia, Rio Octavianus menjelaskan, penjelasan dari pasal 106 ayat 1 bagi pihaknya sudah jelas dan tidak bisa ditawar lagi apalagi diintepretasikan macam-macam. Sebagai warganegara dan pengguna jalan yang baik, semestinya bisa menghormati aturan yang berlaku.

UULAJ dibuat untuk mengatur kelancaran

“Gini loh, aturan itu kan dibuat untuk mengatur, UULAJ dibuat untuk mengatur kelancaran, kenyamanan, keamanan dan keselamatan para pengguna jalan. Pahami itu aja dulu, gak usah ribet,” tandasnya.

“Sekarang ini, orang-orang itu lebih suka melakukan pembenaran ketimbang mengedepankan kebenaran,” tambahnya.

Dari data yang dimiliki RSA Indonesia, tercatat 10 kasus kecelakaan lalu lintas terjadi setiap hari di Indonesia. Kecelakaan itu dipicu oleh aspek lengah karena terganggunya konsentrasi saat berkendara. Bahkan, aspek lengah menjadi faktor dominan penyebab kecelakaan dari faktor manusia yakni sebanyak 56%.

By Gladis Zahra

Gadis lulusan Unpam, ini lahir tahun 2002 memiliki wawasan yang cukup luas, mulai bergabung ke Lensautama.com sekitar tahun 2019 menjadikan Gadis dapat menyalurkan hobi menulisnya.

Komentar pembaca