LensaUtama.com – Simposium Nasional Kebudayaan hari kedua, Selasa (21/11) di Balai Kartini, Jakarta menghadirkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan materi “Pendayagunaan Kearifan Lokal dalam Memperkuat Semangat Kebangsaan”.
Sebelum masuk kedalam materi, terlebih dahulu Sri Sultan menyamakan pengertian kearifan lokal (local wisdom). Ia mengutip dari Teezi Marchettini dan Rosini yang mengatakan kearifan lokal merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris dan non empiris, atau yang estetik maupun intuitif.
Gubernur DI Yogyakarta ini juga memahami kearifan lokal sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi di lingkungan komunitasnya.
Kearifan lokal, menurut Sri Sultan, merupakan yang ber-evolusi dan diunggulkan sebagai “pengetahuan” yang “benar” berhadapan dengan standar “saintisme” modern.
Dalam diskusi, Sri Sultan dihadapkan pertanyaan mengenai permasalahan etnik dan bahasa daerah yang dinilai saat ini sepeti memudar dan ditinggalkan.
“Masalah bagi etnik itu dipersatukan dengan bahasa Indonesia dan etnik apapun dijamin konstitusi yang berujung Bhineka Tunggal Eka. Konstitusi mengakui perbedaan baik etnik maupun agama apapun,” terangnya.
“Bagi saya menggunakan bahasa Indonesia tidak ada masalah, karena bahasa Indonesia lebih praktis dalam berkomunikasi antar etnis. Hanya saja harapan saya adalah bagaimana bahasa daerah tidak punah, keunikan bahasa daerah juga dilundungi undang-undang,” sambung Sri Sultan.
Sebagai catatan akhir yang disampaikannya, budaya nusantara memiliki fondasi peradaban tinggi pada jaman kerajaan lampau. Filosofi yang baik adalah tidak merasa inferior terhadap budaya lain, tetapi juga tidak superior dengan budaya sendiri. Kita dapat belajar banyak dari keberagaman manusia, agama dan etnik.
Agar budaya-budaya tidak menjadi kusut, maka solidaritas budaya yang saling menghargai (mutual respect) antar sesama perlu digerakkan bersama untuk menumbuhkan sikap saling percaya (mutual trust). Hingga akhirnya tercipta iklim yang saling membutuhkan untuk bekerjasama lewat pendekatan budaya.