Jakarta – Industri pinjaman online (pinjol) kembali disorot tajam setelah muncul laporan bahwa aplikasi pinjol Rupiah Cepat, yang dioperasikan oleh PT Kredit Utama Fintech Indonesia, diduga menyalurkan dana ke masyarakat tanpa adanya pengajuan pinjaman.
Kasus ini menjadi sorotan publik setelah unggahan viral di media sosial X, yang memperlihatkan keluhan seorang pengguna yang tiba-tiba menerima dana dari aplikasi pinjol tanpa pernah mengajukan pinjaman. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah turun tangan menangani dugaan pelanggaran ini.
Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, mengonfirmasi bahwa pihaknya sudah menerima pengaduan terkait kasus ini. OJK telah memanggil pihak Rupiah Cepat dan meminta klarifikasi serta pelaporan hasil investigasi internal.
“Perlindungan konsumen merupakan prioritas utama dalam pengawasan sektor jasa keuangan, termasuk industri fintech Peer-to-Peer lending (pinjol)” ujar Ismail
Ismail juga mengimbau masyarakat untuk selalu berhati-hati terhadap tawaran pinjol dan menjaga kerahasiaan data pribadi seperti kata sandi dan kode OTP, guna menghindari penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
OJK membuka kanal pengaduan melalui berbagai platform, termasuk kontak OJK 157, WhatsApp 081-157-157-157, dan aplikasi Portal Perlindungan Konsumen (APPK). Masyarakat diminta segera melapor apabila mengalami indikasi pelanggaran oleh penyedia layanan pinjol.
Selain itu, OJK juga mencermati dugaan praktik kartel bunga pinjol yang sedang ditangani Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 tengah didalami, mengingat bunga pinjaman online yang mencapai 0,3% per hari dianggap memberatkan masyarakat.
Pengamat telekomunikasi dan Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, menilai bahwa kasus ini mencerminkan lemahnya perlindungan data nasabah di sektor pinjol. Ia menekankan bahwa pemberian dana tanpa persetujuan konsumen bukanlah hadiah, melainkan tanggungan yang bisa membebani masyarakat.
“Harus diusut bagaimana proses datanya, dapat dari mana. Jika ilegal, harus ada sanksi” tegas Heru.
Heru juga mengingatkan bahwa tidak semua orang layak diberikan pinjol, terutama anak di bawah umur dan masyarakat tanpa penghasilan tetap. Penyaluran pinjol yang sembarangan hanya akan meningkatkan risiko kredit macet dan mempersulit konsumen di kemudian hari.
Heru meminta masyarakat lebih selektif dan waspada dalam memberikan data pribadi, baik secara online maupun offline. Menurutnya, sering kali data bocor karena masyarakat secara tidak sadar mengisi formulir di toko, pusat perbelanjaan, atau program loyalitas.
“Nomor telepon bisa tersebar karena kita sendiri yang memberikan secara sukarela” pungkas Heru.
Kasus Rupiah Cepat membuka mata publik dan regulator soal pentingnya pengawasan dan perlindungan dalam industri pinjol. Ke depan, regulasi yang lebih ketat serta edukasi publik akan menjadi kunci untuk memastikan keamanan dan keadilan bagi konsumen digital di Indonesia.