Pengadilan Harus Konsisten Terapkan Asas Kesetaraan Dalam Hukum

Jakarta – Lembaga peradilan diminta untuk konsisten dalam menerapkan kesetaraan sebelum keadilan atau equality before the law. Hal ini terkait perlakuan khusus terhadap terdakwa perkara dugaan penipuan, penggelapan, dan pemalsuan terkait surat izin usaha perdagangan (SIUP) yang menjerat Terdakwa Shirly Prima Gunawan.

Kubu pelapor Rizky Ayu Jessica memprotes pengabulan permohonan tahanan rumah terhadap terdakwa Shirly oleh Pengadilan Jakarta Selatan. Padahal, terdakwa diduga melakukan kejahatan serius yang termasuk dalam modus baru penipuan.

Kuasa hukum Rizky, Martin Lukas Simanjuntak di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengatakan, saya meminta kita semua ya kita terapkan lah benar-benar asas equality before the law, jangan kita menganggap itu hanya sebagai bacaan doang di dinding.

Pada sidang pertama ini lah diketahui terdakwa menjadi tahanan rumah. Permohonan terdakwa menjadi tahanan rumah dikabulkan melalui surat penetapan. Martin mempertanyakan kapan pengiriman surat permohonan itu, kapan dibaca, kapan dimusyawarahkan, dan kapan dinilai oleh Majelis Hakim atas perkara nomor: 136/Pid.B/2023 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bahwa terdakwa layak menjadi tahanan rumah.

“Dalam surat permohonan untuk menjadi tahanan rumah pun ada jaminan dari suami terdakwa Shirly Prima Gunawan. Yakni tidak akan mangkir dari sidang, tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, dan alasan mempunyai anak” Ujar Martin.

Martin mengaku kembali menemukan sebuah peristiwa yang tidak biasa, yakni adanya perbuatan menghalang-halangi pemeriksaan ahli pidana yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dan pelapor. Padahal, kata dia, menghadirkan ahli pidana adalah sebagai alat bukti untuk membuat terang sebuah perkara sesuai Pasal 1 angka 28 jo Pasal 186 KUHAP.

Menghadirkan saksi ahli juga dijamin dalam ketentuan hukum acara pidana dalam Pasal 160 c. Beleid itu menyatakan bahwa saksi dan ahli baik yang memberatkan atau menguntungkan terdakwa dapat dihadirkan dan diperiksa selama sidang berlangsung atau putusan belum dijatuhkan.

Semakin kuat dugaan Martin ada perlakuan khusus ataupun inkonsistensi, tidak profesional aparat penegak hukum dalam menjalankan persidangan. Menurut dia, persidangan punya rakyat dan semua masyarakat termasuk aparat penegak hukum harus peduli dengan persidangan yang profesional dan bersih.

“Kita kawal supaya jalannya persidangan nanti bisa memberikan keputusan yang terbaik bagi korban dan juga langkah-langkah preventif supaya tidak terjadi lagi perbuatan-perbuatan seperti ini yang mungkin dilakukan oleh orang-orang yang mendapatkan perlakuan khusus” ungkapnya

Selain komitmen melakukan supervisi pada setiap agenda persidangan, Martin dan tim kuasa hukum korban akan bersurat kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turut memantau jalannya persidangan agar persidangan dapat berjalan dengan profesional dan objektif.

Kasus ini berawal dari adanya jaminan bisnis tas bermerek sebesar Rp18 miliar melalui surat pernyataan hutang yang akhirnya tidak terealisasikan pembayarannya. Terdakwa Shirly Prima Gunawan memberikan bilyet giro atau giro kosong atau ditolak oleh otoritas Bank.

Akibat tindakan terdakwa, korban mengalami kerugian sebanyak 17 tas branded dengan merek Dior, Hermes, Chanel dan lainnya sesuai yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Perkara Pidana Nomor 136/Pid.B/2023/PN. JKT SEL. Perkara ini menyebabkan korban mengalami kerugian secara materill dan imateriil.

Komentar pembaca