Pelecehan Seksual dalam Dunia Seni, Tantangan yang Dihadapi Seniman Perempuan

Jakarta – Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama Puan Seni menggelar Sarasehan Seniman Perempuan di Aula PDSHB Jassin, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki. Acara ini bertujuan untuk membahas perkembangan sektor seni serta keterlibatan seniman perempuan di dalamnya.

Sarasehan tersebut dihadiri oleh puluhan pegiat dan pelaku seni perempuan di Jakarta dari berbagai bidang seni, termasuk musik, teater, seni rupa, hingga sastra. Dalam pertemuan ini, DKJ menampung aspirasi para seniman perempuan terkait tantangan yang mereka hadapi, seperti kesetaraan gender, pelecehan seksual, dan pelecehan intelektual yang masih menjadi kendala dalam berkarya.

Sejumlah seniman perempuan berbagi pengalaman mereka terkait tantangan dalam dunia seni.

Nadine Nadila, seorang pelaku teater, mengungkapkan bahwa pelecehan dalam berkesenian telah dialaminya sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama dan dianggap sebagai hal yang lumrah oleh sebagian orang.

“Saya menyesal baru mempelajari soal kesetaraan gender baru-baru ini, padahal pengalaman yang mengguncang mental itu saya alami sejak sekolah. Bahkan awalnya saya tidak tahu. Pencerahan-pencerahan ini harus sampai ke pelajar juga” ungkapnya.

Ia menekankan pentingnya edukasi pencegahan pelecehan seksual sejak dini, terutama bagi pelaku teater yang masih remaja dan rentan mengalami eksploitasi.

Kartika Jahja dari Institute Ungu menyoroti masih adanya stigma “expired date” bagi seniman perempuan. Ia mengungkapkan bahwa ketika seorang seniman perempuan dicap “expired”, maka mereka dianggap tidak lagi relevan dengan standar industri seni.

“Pelecehan intelektual masih ada di bidang tertentu yang dianggap belum bisa dilakukan perempuan. Seperti sound engineer. Sulitnya pelatihan-pelatihan di bidang tertentu karena dianggap bidang laki-laki. Hal ini menghambat regenerasi pegiat seni perempuan” jelasnya.

Gema Swaratyagita, seorang komposer perempuan dari Perempuan Komponis: Forum & Lab, juga mengungkapkan diskriminasi yang dialami komponis perempuan, terutama bagi mereka yang menjadi seorang ibu.

“Diskriminasi dimulai sejak hamil dengan diksi ‘Tidak mungkin langsung berkarya setelah melahirkan, minimal 2 tahun’. Makanya banyak yang berhenti berkarya setelah jadi ibu. Stuck, tidak menciptakan karya baru” ujarnya.

Anggota Komite Seni Rupa dan Komisi Simpul Seni DKJ, Aquino Hayunta, menyatakan bahwa berbagai temuan dalam sarasehan ini akan dipetakan dan dibahas lebih lanjut bersama Puan Seni untuk mencari solusi serta langkah konkret dalam mengatasi tantangan yang dihadapi seniman perempuan.

Sementara itu, Bendahara Puan Seni Indonesia, Irawita, menambahkan bahwa tidak menutup kemungkinan akan digelar pertemuan serupa di masa mendatang guna membahas hasil pemetaan yang dilakukan DKJ dan Puan Seni.

Sarasehan ini menjadi langkah awal dalam menciptakan lingkungan seni yang lebih setara, aman, dan inklusif bagi seniman perempuan, agar mereka dapat berkarya tanpa hambatan diskriminasi dan pelecehan.

Komentar pembaca