Dari hasil survei yang dilakukan RISED diketahui bahwa jarak tempuh rata-rata konsumen adalah 8,8 km/hari. Dengan jarak tempuh sejauh itu, apabila terjadi kenaikan tarif dari Rp 2.200/km menjadi Rp 3.100/km (atau sebesar Rp 900/km), maka pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp 7.920/hari.
“Bertambahnya pengeluaran besar akan ditolak oleh konsumen yang tidak mau mengeluarkan biaya tambahan sama sekali, dan yang hanya ingin mengeluarkan biaya tambahan kurang dari Rp 5.000/hari. Total persentasenya mencapai 71,12%” ujarnya
“Tarif memang selalu menjadi pertimbangan penting konsumen dalam menggunakan layanan atau produk, terlihat dari hasil survei yang dilakukan RISED bahwa 64% responden mengaku menggunakan aplikasi dari dua perusahaan aplikasi ojek online” papar Zumrotin.
Zumrotin menambahkan, persentase ini menunjukkan layanan ojol amat sensitif dengan harga yang ditawarkan,”
Menurutnya kebijakan yang mempengaruhi harga sebaiknya dilakukan secara hati-hati sehingga tidak mengganggu stabilitas pasar secara menyeluruh.
“Seluruh pemangku kepentingan harus diperhitungkan dalam proses perumusan regulasi, karena konsumen yang akan terdampak secara signifikan,” ujarnya.
Seperti tergambar dari hasil survei bahwa 75% responden lebih nyaman menggunakan ojol dibandingkan moda transportasi lainnya. Sebesar 83% responden juga menyatakan bahwa ojol lebih unggul dikarenakan faktor kemudahan dalam bermobilitas, waktu yang fleksibel, dan layanan door-to-door.
Berdasarkan hasil survei juga terlihat bahwa masyarakat menggunakan ojol dominan untuk pergi ke sekolah, kuliah, dan kantor (72% responden). Sementara dari sisi jarak tempuh, 79,21% responden menggunakan ojek online untuk bertransportasi sejauh 0-10 km per hari.
Fakta ini membuktikan bahwa ojol digunakan untuk mengisi kebutuhan masyarakat dalam bermobilitas jarak pendek. Ojol juga mendukung konsumen terhubung dengan transportasi publik massal yang terus berkembang. Sementara yang menggunakannya untuk rentang jarak 15 km – lebih dari 25 km per hari persenta.