Tingginya Impor Pangan Jadi Persoalan Mendasar Ketahanan Bangsa

Lensautama.com – Panitia bersama dari Aliansi Kebangsaan, Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) dan FKPPI kembali menggelar Diskusi Panel Serial (DPS) dengan tema Ancaman Tantangan Hambatan dan Gangguan (ATHG) dari Dalam Negeri (Sumber Daya Alam).

Hadir sebagai narasumber dalam DPS Seri ke-11 ini, adalah: Ir. Siswono Yudo Husodo (Mantan Menteri Menteri Negara Perumahan Rakyat 1988-1993 dan Menteri Transmigrasi 1993-1998). Prof. Ir. Rachmat Witoelar (Utusan Khusus Presiden Untuk Pengendalian Perubahan Iklim).

Selain itu hadir pula Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB Pontjo Sutowo, serta Ketua Panitia Bersama DPS Iman Sunario, dan Prof. Dr. La Ode Kamaludin yang bertindak sebagai moderator.

Untuk diketahui, masalah pangan, air, dan lingkungan hidup merupakan masalah mendasar bagi kelangsungan hidup bangsa. Maka dari itu penting dilakukan upaya untuk menanggulangi persoalan mendasar yang dapat mengancam ketahanan dan kelangsungan hidup bangsa.

Gejolak di masyarakat terutama kalangan petani dan pelaku pasar saat ini dirasa cukup memprihatinkan adalah tingginya impor bahan konsumsi yang dikhawatirkan dapat membuat ketergantungan terhadap bangsa luar.

Seperti yang dikatakan mantan Menteri Perumahan Rakyat Ir. Siswono Yudo Husodo bahwa pada saat ini pangan Indonesia sangat tergantung pada impor.

Kenyataan ini menyebabkan Indonesia tidak memiliki kemandirian pangan. Prosentase impor terhadap kebutuhan pangan misalnya, Indonesia menduduki kondisi yang kritis.

“Prosentase impor Bawang Putih dicatat sebesar 90%, Kedelai 63%, Susu 84%, Garam 55%, Beras 5%, Daging Sapi 20%, Gandum 100%, dan Gula 37%,” ungkap Siswono saat memberi paparan Diskusi Panel Serial ke-11 di Jakarta Convention Center, Sabtu (7/3).

Pada Desember 2017, lanjutnya, angka impor barang konsumsi mencapai 1,37 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 18,49 triliun, tertinggi sepanjang sejarah untuk hitungan per bulan. Dan diperkirakan pada tahun 2020, Indonesia diperkirakan harus mengimpor pangan senilai Rp 1.500 triliun.

“Untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia harus segera memperluas lahan pangan yang ada, selain itu juga berhati-hati terhadap konspirasi asing yang ingin menguasai pertanian dan pangan Indonesia,” katanya lagi.

Sementara, menurut Pontjo Sutowo, pada saat ini Indonesia terjadi mismatch antara ketersediaan pangan dengan pertambahan penduduk di Indonesia.

Mismatch tersebut selain timbul karena masalah alamiah juga karena kesalahan kebijakan pemerintah dan perbuatan warga masyarakat sendiri. Sayangnya penyebab masalah kesalahan pemerintah dan perbuatan warga masyarakat sendiri tersebut, dirasakan lebih besar.

“Sudah seharusnya bentuk negara kesatuan dan sistem pemerintahan presidensial, dapat merencanakan keseluruhan masalah tersebut dengan lebih terpadu, efektif, dan efisien,” kata Pontjo Sutowo.

Namun dalam kenyataannya, menurut Pontjo, hal tersebut belum terjadi. Karena itu sudah saatnya bangsa ini memikirkan adanya kebijakan yang lebih terpadu guna mengkristalisasikan lessons learned yang sudah diperoleh.

Rachmat Witoelar menyatakan jika Indonesia perlu berhati-hati terhadap perubahan iklim di dunia. Hal ini karena pengaruh perubahan iklim mampu menjadi ancaman terhadap keutuhan wilayah nasional, keamanan nasional, dan Integritas Nasional.

Karena itu, Indonesia perlu segera melakukan langkah adaptasi terhadap perubahan yang sudah terjadi. Pendekatan adaptasi tersebut perlu dilakukan secara proaktif.

“Langkah adaptasi itu misalnya dilakukan dengan melaksanakan pembangunan ramah iklim yang mempertimbangkan potensi untuk membatasi dan mengurangi gas rumah kaca”, kata Rachmat Witoelar.

Komentar pembaca