Site icon LensaUtama

Politisi PSI, Rian Ernest: DPR Amankan Kepentingan dengan Revisi UU MD3

PSI Rian Ernest

PSI Rian Ernest

LensaUtama.com – Revisi UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) yang baru telah disahkan oleh DPR. Namun terdapat pro kontra atas disahkannya UU tersebut, karena dinilai banyak pihak ada tiga pasal yang dianggap kontroversial.

Ketiga pasal yang menjadi kontroversi adalah, Pasal 73 mengenai mekanisme pemanggilan paksa dengan bantuan polisi. Kedua, Pasal 122 mengenai langkah hukum Mahkamah Kehormatan Dewan atau MKD kepada siapa pun yang ‘merendahkan’ DPR dan anggota DPR.

Ketuga adalah Pasal 245 mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan penyidikan kepada anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan MKD.

Untuk itu, politisi muda Rian Ernest dari partai Persatuan Solidaritas Indonesia (PSI) yang menjabat Wakil Ketua DPW DKI Jakarta menyayangkan sikap DPR yang melahirkan pasal semacam ini di tengah kinerja DPR yang menurutnya masih mengecewakan.

“DPR memperkuat dirinya sendiri dari kritik dan wewenang aparat hukum, di saat pencapaian DPR selama dua tahun terakhir, masih mengecewakan,” ujarnya.

Ia juga menyebutkan, dari 49 RUU yang masuk program legislasi nasional prioritas 2017, hanya tujuh RUU yang bisa diselesaikan, atau hanya 15 persen pencapaian.

Caleg PSI dari Dapil DKI Jakarta itu mengaku sangat tak bisa menerima pengesahan revisi UU tersebut di tengah hangatnya kasus korupsi e-KTP yang dalam dakwaannya menyebutkan banyak nama di Senayan yang ikut mencicip dan menikmati uang haram KTP elektronik.

Pengesahan pasal-pasal kontroversial ini menurutnya sangat layak dipertanyakan. Pertama, apakah layak bila DPR menggunakan tangan aparat hukum menghadirkan pihak-pihak, terutama pihak yang akan dianggap ‘merendahkan’ DPR? Padahal di saat yang sama DPR ingin berlindung menggunakan UU yang dibuat sendiri, menghindari proses penyidikan dengan meminta izin dari organ internalnya sendiri?

Kedua, apa batasan dan cakupan dari tindakan ‘merendahkan’ DPR? “Apakah tulisan kritis ini juga bisa dikatakan merendahkan? DPR sebagai pembuat UU telah membuat aturan yang ambigu,” kata Rian mempertanyakan.

Dan yang ketiga, apakah DPR tidak mengetahui bahwa pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi pernah memutus bahwa penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak perlu mendapatkan izin dari MKD, melainkan cukup dari Presiden?

Rian mengingatkan, tugas anggota DPR adalah legislator, atau pembuat Undang-Undang. Namun, menurutnya, dengan pencapaian target legislasi yang jauh di bawah standar, itu sudah menunjukkan tidak bekerja-nya DPR sebagai sebuah sistem.

Menyadari para anggota dewan yang mengesahkan revisi tersebut juga anggota partai politik, dirinya berharap semoga partai politik terus berbenah, dan bisa mengembalikan fungsi DPR sebagai pembuat legislator yang berpihak pada publik sekaligus mengembalikan kepercayaan publik.

Exit mobile version