Jakarta — Dalam beberapa hari terakhir, gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” menjadi viral di media sosial dan ruang publik. Gerakan ini menolak penggunaan sirine dan strobo yang dinilai mengganggu ketenangan pengguna jalan, khususnya saat mengawal pejabat di tengah kemacetan.
Merespons suara publik tersebut, Polri melalui Korlantas resmi membekukan penggunaan sirine dengan suara mengganggu dalam pengawalan lalu lintas, kecuali untuk kondisi tertentu yang bersifat darurat.
“Semoga tidak usah pakai ‘tot tot’ lagi. Masyarakat terganggu, apalagi saat lalu lintas padat” ujar Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho.
Irjen Agus menegaskan bahwa penggunaan sirine masih diperbolehkan untuk kendaraan prioritas, seperti:
- Pemadam kebakaran
- Ambulans
- Mobil jenazah
- Konvoi kenegaraan atau kegiatan penting lainnya
- Petugas lalu lintas di jalan tol
Namun, untuk pengawalan pejabat non-prioritas, sirine nyaring tidak lagi diperbolehkan, apalagi saat jam padat atau ketika azan berkumandang sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu ibadah.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengapresiasi gerakan ini dan meminta seluruh pejabat negara tidak menyalahgunakan sirine maupun pengawalan. Ia mencontohkan Presiden Prabowo Subianto yang dalam berbagai kesempatan tidak menggunakan sirine berlebihan, bahkan kerap berhenti di lampu merah dan ikut dalam kemacetan.
“Artinya, fasilitas tersebut jangan digunakan untuk sesuatu yang melebihi batas wajar” tegas Prasetyo.
Langkah Presiden Prabowo ini dinilai menjadi contoh kepatutan pejabat publik dalam menghormati hak pengguna jalan lainnya, serta menjadi simbol kedekatan pemimpin dengan rakyat.
Komisioner Kompolnas Choirul Anam menyatakan bahwa sirine keras di jalanan padat seperti Jakarta sangat mengganggu. Secara psikologis, suara yang mendadak dan keras bisa memicu stres, apalagi saat kondisi lalu lintas macet total.
Senada, Djoko Setijowarno, akademisi teknik sipil dari Unika Soegijapranata, menilai gerakan ini muncul karena maraknya penyalahgunaan hak istimewa. Banyak kendaraan pribadi atau pejabat non-darurat menggunakan sirine dan strobo untuk membelah kemacetan.
“Persepsi publik jadi negatif. Sirine bukan lagi simbol keselamatan, tapi simbol kekuasaan. Ini menciptakan rasa tidak adil” ujarnya.
Djoko juga menyarankan agar pengawalan dan penggunaan sirine hanya dibatasi untuk Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan pejabat lainnya cukup mengikuti arus lalu lintas secara wajar.
Sesuai UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), penggunaan sirine dan rotator hanya diperbolehkan untuk:
- Kendaraan dinas Kepolisian
- Kendaraan darurat (ambulans, pemadam, mobil jenazah)
- Pengawalan pejabat tinggi negara dan tamu negara
- Kendaraan penolong kecelakaan
- Konvoi resmi yang memerlukan pengawalan
Namun, lemahnya penegakan hukum membuat banyak pengguna jalan menyalahgunakan alat ini, termasuk beberapa kendaraan dinas dan sipil tanpa izin resmi.
Gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” kini ramai didukung warganet. Meme-meme sindiran bertebaran di media sosial, bahkan stiker bertuliskan “Stop berisik di jalan. Pajak kami ada di kendaraanmu!” banyak ditempel di mobil-mobil pribadi sebagai bentuk protes damai.
Langkah cepat Polri membekukan penggunaan sirine berlebihan mendapat apresiasi luas dan dinilai sebagai bentuk nyata dari Polri yang mendengar suara rakyat serta menjaga etika di jalan raya.