lensautama – Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan persentas Penyakit ginjal kronik (PGK) masih tinggi yaitu sebesar 3,8 persen dengan kenaikan sebesar 1,8 persen dari 2013.
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia ini disebabkan adanya peningkatan angka kejadian penyakit ginjal kronik setiap tahunnya yang menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian atas penyakit tersebut.
“Penyakit ginjal kronik merupakan kondisi kerusakan ginjal yang berlangsung ≥3 bulan. Kerusakan yang terjadi dapat berupa gangguan struktur ginjal atau fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 ml/menit/1.73m2 dan memberi implikasi terhadap kesehatan” Ujar dr. St. Rabiul Zatalia Ramadhan, Sp.PD-KGH Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal dan Hipertensi Rumah Sakit Awal Bros Makassar.
Pada stadium 5, ginjal sudah tidak dapat menjalankan fungsinya secara keseluruhan sehingga memberikan dampak bagi seluruh tubuh. Pada tahap ini harus dilakukan tindakan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) berupa dialisis (hemodialisis (HD) atau peritoneal dialisis) atau cangkok ginjal (transplantasi).
Mesin HD dapat mengambil alih fungsi ginjal untuk mengeluarkan zat sisa buangan tubuh yang menumpuk dalam darah karena pada mesin HD terdapat ginjal buatan yang disebut dialiser.
“Dialiser ini bisa mengeluarkan produk sisa metabolisme tubuh, selain itu juga dapat mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal” Ujar Dokter Rabiul
“Hemodialisis dipertimbangkan pada pasien yang memiliki indikasi HD. Indikasi HD dibedakan menjadi dua yaitu HD akut pada kasus emergency dan HD kronik” Jelasnya.
Pada pasien gagal ginjal yang diindikasikan HD kronik maka tindakan HD tersebut harus dilakukan seumur hidup, hal tersebut karena kondisi gagal ginjal tidak mengalami penyembuhan. Namun, pada pasien gagal ginjal yang memutuskan untuk melakukan cangkok ginjal, maka tindakan HD dilakukan sambil menunggu donor ginjal yang sesuai.
Frekuensi HD pada pasien yang menjalani HD kronik rata-rata 2-3 kali seminggu dengan rentang waktu 4-5 jam per sesi tindakan HD. Frekuensi HD pada pasien yang diindikasikan HD akut berbeda dengan pasien HD Kronik.
Hemodialisis akut sebagian besar diindikasikan pada pasien dengan gangguan ginjal akut yang disertai atau tidak disertai abnormalitas metabolik yang terjadi tiba-tiba. Pada kondisi tersebut kerusakan ginjal yang terjadi masih bisa mengalami perbaikan, sehingga tindakan HD lebih banyak bersifat sebagai terapi pembantu ginjal (renal supporting therapy) yang biasanya tidak dilakukan seumur hidup.
Tindakan HD yang dilakukan pada kondisi akut dapat dihentikan setelah gangguan ginjal dan abnormalitas metabolik yang terjadi sudah terkoreksi.
“Tindakan HD memerlukan akses pada pembuluh darah, sehingga salah satu efek samping yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah efek samping terkait pemasangan akses tersebut” Imbuh dr. Rabiul
“Efek samping lain yang bisa muncul akibat tindakan HD antara lain kram, sakit kepala, mual, pusing, sesak napas, menggigil dan lemah badan” Pangkas dr. Rabiul